Di Tulis Oleh: Akhwil SH, (Praktisi Hukum dan Aktivis di Tangerang Raya)
Narasi ini merupakan bentuk penyikapan, kritik, pandangan, dan masukan dari penulis berdasarkan pengalaman serta pengetahuan yang dimilikinya. Pendapat ini disampaikan sebagai upaya mendorong pemerintah daerah—termasuk jajaran eksekutif, legislatif, dan aparat penegak hukum—untuk lebih transparan, akuntabel, dan efektif dalam mengelola anggaran di Banten serta menyelesaikan persoalan hukum dan tata kelola pemerintahan yang masih menjadi tantangan.
Tangerang, Provinsi Banten, 03 Maret 2025, Watchnews.co.id” Komitmen Efisiensi Anggaran, ” Realita atau lebih Retorika? “Gubernur Banten, Andra Soni, kembali menegaskan komitmennya dalam menerapkan efisiensi anggaran di setiap lini pemerintahan, mulai dari Pemerintah Provinsi hingga kabupaten dan kota. Dalam berbagai kesempatan, beliau menyatakan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan harus membawa dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Pernyataan tersebut, meskipun menggugah, tetap menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah retorika efisiensi anggaran ini akan terwujud di tengah kondisi nyata, atau hanya menjadi slogan belaka?
Dalam implementasinya, upaya efisiensi anggaran tidak hanya sekadar membatasi pemborosan atau mengoptimalkan belanja daerah, tetapi juga harus berorientasi pada reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah yang selama ini kerap bermasalah. Salah satu tantangan besar yang dihadapi Gubernur Andra Soni saat ini adalah kewajiban melunasi utang sebesar Rp 414 miliar yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya, era Gubernur Wahidin Halim (2017–2022). Utang ini digunakan untuk membiayai berbagai proyek strategis, yang dalam pelaksanaannya masih menyisakan tanda tanya terkait efektivitas serta transparansi penggunaannya.
Masalah PIK 2: Persoalan Lama yang Belum Terselesaikan Selain persoalan anggaran, Gubernur Andra Soni juga dihadapkan pada permasalahan besar lainnya, yakni konflik pertanahan terkait proyek PIK 2 (Pantai Indah Kapuk 2). Proyek pengembangan kawasan pesisir di Kabupaten Tangerang ini sejak lama menjadi sorotan akibat dugaan pelanggaran hukum, termasuk permasalahan tumpang tindih kepemilikan tanah, dugaan pemalsuan sertifikat, serta hilangnya aset negara berupa tanah bengkok, pengairan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.
Sebagai Ketua DPRD Banten periode sebelumnya, Andra Soni seharusnya memiliki peran penting dalam mengawasi kebijakan terkait proyek ini. Namun, lemahnya tindakan legislatif dalam mengawal permasalahan PIK 2 membuat kasus ini berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas. Kini, sebagai gubernur, ia dituntut untuk lebih tegas dalam menyelesaikan polemik ini dengan memastikan bahwa hak-hak masyarakat pesisir tidak dirugikan dan hukum benar-benar ditegakkan.
Penegasan Kepada Kepala Daerah:
Tidak Cukup Hanya Himbauan Sebagai pemimpin di tingkat provinsi, Andra Soni tidak bisa hanya mengandalkan imbauan dalam menerapkan efisiensi anggaran. Para bupati dan wali kota di Banten harus memiliki keberanian dalam mengambil langkah konkret untuk menghapus pemborosan serta mencegah praktik korupsi yang selama ini menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan keuangan daerah.
Pengawasan Internal yang Kuat:
Setiap kepala daerah dituntut untuk membangun sistem pengawasan internal yang transparan dan independen guna mendeteksi serta mencegah potensi penyalahgunaan anggaran sejak dini.
Pengelolaan Anggaran Berbasis Kebutuhan Riil:
Prioritas pengeluaran harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, seperti infrastruktur dasar, peningkatan kualitas pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang memadai.
Keberpihakan kepada Masyarakat dalam Kasus PIK 2:
Pemerintah daerah tidak boleh tunduk pada kepentingan korporasi dalam kasus PIK 2. Kebijakan yang diambil harus menjamin hak-hak masyarakat yang terdampak serta memulihkan aset negara yang hilang.
Sinergi dengan DPRD dan Aparat Penegak Hukum
Efisiensi anggaran dan penyelesaian konflik pertanahan di Banten tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan penuh dari DPRD serta aparat penegak hukum. DPRD sebagai lembaga pengawas tidak boleh hanya berfungsi sebagai “tukang stempel” dalam pembahasan anggaran. Mereka harus aktif mengawal kebijakan anggaran dan memastikan tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Di sisi lain, aparat penegak hukum—mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga KPK—harus lebih proaktif dan tegas dalam menangani kasus-kasus dugaan korupsi. Jika ada indikasi penyimpangan anggaran atau penyalahgunaan kewenangan dalam kasus PIK 2, maka tindakan hukum harus segera diambil guna memberikan efek jera bagi pelaku.
Penguatan Peran Legislasi:
DPRD perlu meningkatkan fungsi pengawasan dan audit internal agar setiap alokasi anggaran dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas.
Penindakan Hukum Tanpa Toleransi:
Kolaborasi antara KPK, BPK, dan aparat penegak hukum lainnya harus ditingkatkan untuk mempercepat investigasi dan penindakan atas setiap indikasi penyalahgunaan anggaran serta pelanggaran hukum dalam proyek-proyek strategis, termasuk PIK 2.
Akuntabilitas dan Kepastian Yuridis Secara hukum, kewajiban pemerintah daerah dalam melunasi utang serta mengelola keuangan daerah harus sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi, sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Audit forensik terhadap penggunaan anggaran serta pelaksanaan proyek-proyek strategis menjadi langkah krusial untuk memastikan tidak adanya penyimpangan yang merugikan keuangan daerah.
Kasus PIK 2 juga perlu dikaji dari aspek hukum pertanahan, termasuk apakah terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) serta aturan mengenai pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang atau pemalsuan dokumen tanah, maka langkah hukum harus segera dilakukan untuk melindungi hak masyarakat dan mencegah praktik korupsi yang lebih besar.
Saatnya Membuktikan Janji Efisiensi Anggaran dan Penegakan Hukum Gubernur Andra Soni kini dihadapkan pada ujian kepemimpinan yang sesungguhnya. Selain kewajiban melunasi utang daerah Rp 414 miliar, ia juga harus mampu membuktikan komitmennya dalam menegakkan hukum dan melindungi kepentingan masyarakat dalam konflik pertanahan PIK 2.
Masyarakat Banten tidak lagi membutuhkan retorika atau sekadar janji manis, melainkan tindakan nyata dalam bentuk pengelolaan keuangan yang bersih, transparan, serta penegakan hukum yang berkeadilan. Jika seluruh pemangku kepentingan—eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat sipil—dapat bersinergi, maka reformasi tata kelola pemerintahan di Banten dapat benar-benar terwujud.
Sumber berita : Tulisan ini, berdasarkan pandangan dan masukan dari penulis, diharapkan dapat menjadi refleksi kritis serta ajakan bersama untuk mengawal kebijakan anggaran dan penyelesaian masalah hukum di Banten demi terciptanya pemerintahan yang lebih baik, transparan, dan berpihak kepada rakyat.