KEBIJAKAN LARANGAN PENJUALAN ELPIJI 3 Kg DI PENGECER : “SOLUSI ATAU MASALAH BARU?”

Foto Pada Saat Masyarakat Ngantri Gas LPG 3Kg
Bagikan

Watchnews.co.id,Tangerang-  Tangerang, 03 Februari 2025 “Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan larangan penjualan elpiji 3 kilogram (kg) melalui pengecer mulai 1 Februari 2025. Dengan kebijakan ini, masyarakat tidak lagi bisa membeli “gas melon” secara bebas di warung atau toko kelontong, melainkan hanya di pangkalan resmi yang telah terdaftar di sistem distribusi Pertamina.

Pemerintah beralasan bahwa langkah ini bertujuan untuk memastikan subsidi elpiji 3 kg tepat sasaran dan menghindari penyalahgunaan. Namun, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar terkait dampaknya terhadap masyarakat kecil dan UMKM yang sangat bergantung pada elpiji bersubsidi. Selain itu, muncul dugaan bahwa kebijakan ini bukan hanya untuk efisiensi subsidi, tetapi juga berpotensi menguntungkan kelompok tertentu dalam rantai distribusi energi nasional.

Lalu, apakah kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan rakyat atau ada kepentingan lain di baliknya? Bagaimana langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah agar tidak menimbulkan keresahan? Bagaimana DPR RI, khususnya Komisi XII yang membidangi energi, harus mengawasi implementasi kebijakan ini agar tidak menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk menguasai distribusi elpiji?

Analisis Kebijakan dan Dampaknya :

1. Alasan Resmi Pemerintah :
Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini dibuat untuk beberapa tujuan utama, yaitu:

– Menjamin distribusi subsidi tepat sasaran: Selama ini, banyak masyarakat mampu yang tetap bisa membeli elpiji bersubsidi di pengecer, meskipun subsidi seharusnya hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan UMKM kecil.

– Mencegah penyalahgunaan dan spekulasi harga: Pengecer sering menjual elpiji di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), sehingga harga menjadi tidak terkendali.

– Mengoptimalkan distribusi melalui pangkalan resmi: Dengan sistem pangkalan resmi, distribusi lebih terkontrol dan memudahkan pemerintah dalam memantau jumlah penggunaan elpiji bersubsidi. Namun, meskipun alasan ini tampak logis, ada beberapa persoalan yang muncul jika kebijakan ini tidak diiringi dengan kajian yang matang.

2. Masalah yang Muncul dari Kebijakan Ini :

A.  Ketersediaan Pangkalan Resmi yang Tidak Merata
Hingga akhir 2024, terdapat sekitar 253.365 pangkalan resmi yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, jumlah ini belum tentu cukup untuk menjangkau semua wilayah, terutama daerah terpencil dan pedesaan. Sebelumnya, masyarakat bisa mendapatkan elpiji dengan mudah di warung atau pengecer terdekat, tetapi setelah kebijakan ini berlaku, mereka harus pergi ke pangkalan yang mungkin berjarak jauh dari tempat tinggal mereka.

Dampak:

Biaya transportasi untuk mendapatkan elpiji bisa meningkat, terutama di daerah terpencil. Warga yang tidak memiliki akses kendaraan akan kesulitan mendapatkan elpiji.

B. Dampak terhadap UMKM dan Ekonomi Masyarakat Kecil
Banyak usaha mikro seperti pedagang kaki lima, warung makan, dan industri rumah tangga bergantung pada elpiji 3 kg. Jika akses terhadap gas melon menjadi lebih sulit, maka operasional mereka akan terganggu.

Dampak:

Harga makanan dan produk UMKM bisa naik karena meningkatnya biaya operasional. Pelaku usaha kecil yang tidak memiliki akses mudah ke pangkalan resmi bisa kesulitan menjalankan bisnisnya. Potensi meningkatnya jumlah pengangguran jika UMKM kecil terpaksa tutup karena kesulitan mendapatkan elpiji.

C. Dugaan Kepentingan di Balik Kebijakan Ini
Selain alasan resmi yang dikemukakan pemerintah, ada beberapa kepentingan yang diduga turut berperan dalam kebijakan ini:

– Pengendalian distribusi oleh pihak tertentu

Dengan dihapusnya pengecer, pangkalan dan agen besar yang memiliki izin dari Pertamina akan memiliki kendali penuh atas distribusi. Hal ini berpotensi menciptakan monopoli yang bisa menyebabkan harga menjadi tidak stabil. Upaya mengurangi beban subsidi secara bertahap.

Dengan semakin sulitnya akses terhadap elpiji bersubsidi, masyarakat bisa dipaksa beralih ke elpiji nonsubsidi atau sumber energi lain seperti kompor listrik. Jika permintaan elpiji bersubsidi berkurang, maka pemerintah bisa secara bertahap menghapus subsidi tanpa gejolak besar. Potensi keuntungan bagi sektor energi lain.

Pemerintah sejak 2022 telah menggencarkan program konversi dari elpiji ke listrik. Jika masyarakat beralih ke kompor listrik, maka PLN dan industri energi listrik lainnya akan mendapat keuntungan besar. Langkah yang Harus Diambil Pemerintah dan DPR Untuk menghindari dampak negatif yang luas, pemerintah tidak bisa sekadar menerapkan kebijakan tanpa solusi konkret. Berikut adalah langkah-langkah yang harus diambil :

1. Pemerintah Harus Memastikan Distribusi yang Merata

Sebelum kebijakan ini diterapkan, pemerintah harus melakukan pemetaan sebaran pangkalan resmi dan memastikan jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di semua daerah. Jika masih ada daerah yang minim pangkalan, maka penambahan pangkalan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum larangan pengecer diberlakukan.

2. Membangun Sistem Pengawasan Harga dan Distribusi

Harus ada mekanisme pengawasan harga agar pangkalan tidak menaikkan harga secara sepihak setelah pengecer dihapus. Pemerintah bisa menerapkan sistem digitalisasi pembelian elpiji berbasis KTP atau aplikasi online untuk memastikan subsidi hanya dinikmati oleh masyarakat yang berhak.

3. DPR RI, Khususnya Komisi XII, Harus Melakukan Pengawasan Ketat

Komisi VII DPR RI yang membidangi energi harus memastikan kebijakan ini tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu. DPR harus meminta laporan dari pemerintah dan Pertamina terkait kesiapan pangkalan serta dampak yang sudah diprediksi sebelum kebijakan diterapkan. Jika kebijakan ini terbukti merugikan masyarakat kecil dan hanya menguntungkan pihak tertentu, DPR harus mendesak pemerintah untuk melakukan revisi atau menunda implementasinya.

4. Menjaga Transparansi dan Menghindari Kepentingan Bisnis di Balik Kebijakan

Kebijakan ini harus diawasi agar tidak hanya menguntungkan pengusaha besar, investor listrik, atau kelompok tertentu yang ingin mengontrol distribusi energi nasional. DPR harus memastikan bahwa tidak ada kepentingan terselubung yang mengarah pada monopoli distribusi atau upaya sistematis untuk menghapus subsidi secara diam-diam.

Kebijakan pelarangan penjualan elpiji 3 kg melalui pengecer memang bertujuan untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, tanpa kajian yang matang dan distribusi yang merata, kebijakan ini bisa menjadi bumerang yang merugikan masyarakat kecil dan UMKM.

Pemerintah harus segera melakukan pemetaan pangkalan dan memastikan tidak ada daerah yang kesulitan mengakses elpiji sebelum kebijakan ini diterapkan. DPR RI, khususnya Komisi XII, harus berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan ini agar tidak menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk mengendalikan distribusi energi nasional.

Jangan sampai kebijakan ini hanya menguntungkan sekelompok orang di pemerintahan, legislatif, atau dunia usaha, sementara rakyat kecil menjadi korban.

Penulis :  Akhwil.SH ( Praktisi Hukum & Aktivis LSM PHI serta Pimpinan Umum media online Watchnews.co.id )

Narsum : Artikel berita diatas materinya dikutip dari beberapa artikel dimedia online diantaranya “Kompas.com” dan pemberitaan resmi pemerintah kemudian oleh penulis dikembangkan narasinya dalam bentuk “ANALISIS”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *