Oleh: Akhwil, S.H., Praktisi Hukum dan Aktivis LSM Tangerang Raya
PENDAHULUAN :
DI ANTARA PEMALSUAN DAN KORUPSI, DIMANA KEADILAN BERDIRI?
Tangerang, 11-04-2025, Watchnews.co.id “Kasus pagar laut di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, telah mencuat sebagai isu nasional bukan hanya karena skandal pemalsuan dokumen dan penguasaan wilayah laut secara ilegal, tetapi juga karena mulai tampak konflik penanganan perkara antara Kepolisian (Bareskrim Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Polemik hukum ini menyangkut perbedaan tafsir antara dua lembaga penegak hukum negara mengenai arah penanganan kasus: apakah cukup dikualifikasikan sebagai tindak pidana pemalsuan atau sudah seharusnya dikembangkan sebagai tindak pidana korupsi (tipikor).
Ketegangan ini, bila tidak diselesaikan dengan baik, berpotensi menimbulkan risiko hukum yang serius serta menciptakan preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
KAJIAN DAN ANALISA HUKUM: KEWENANGAN, KETEGANGAN, DAN RESIKO YANG MENGANCAM
1. Kewenangan Penanganan Perkara: Dasar Hukum dan Tata Kelola
Penanganan perkara pidana dalam sistem hukum Indonesia diatur secara tegas dalam sejumlah undang-undang:
– KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981):
Pasal 1 angka 1 dan 2 menjelaskan peran penyidik (Polri) dan penuntut umum (Kejaksaan).
Penyidik bertugas menyelidiki dan menyidik perkara pidana, sementara Penuntut Umum menyusun dakwaan berdasarkan hasil penyidikan.
– UU Kejaksaan No. 11 Tahun 2021:
Pasal 30 ayat (1) huruf a memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dalam hal penuntutan, termasuk melakukan pengawasan atas penyidikan.
– UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (Tipikor):
Penyidikan dan penuntutan perkara korupsi dapat dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, untuk membuktikan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, harus terdapat hasil audit dari lembaga resmi seperti BPK atau BPKP. Ini menjadi alasan Bareskrim tidak melanjutkan ke ranah Tipikor karena menurut mereka, belum ditemukan kerugian negara.
2. Ketegangan Hukum: Polisi Bertahan pada Pemalsuan, Jaksa Dorong ke Korupsi
BARESKRIM POLRI:
Tetap pada posisi bahwa kasus ini hanya memenuhi unsur Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat).
Berargumen bahwa hasil koordinasi dengan BPK tidak menunjukkan adanya kerugian negara.
KEJAKSAAN AGUNG:
Berdasarkan hasil analisis JPU, ada indikasi kuat pelanggaran hukum yang menyentuh ranah Tipikor.
– Melibatkan penyalahgunaan wewenang, penerbitan sertifikat atas tanah negara tanpa dasar hukum, serta potensi gratifikasi.
– Menyarankan koordinasi dengan Jampidsus dan pengembangan ke Pasal 2, 3, dan 12 UU Tipikor.
3. Risiko Hukum Jika Ketegangan Tidak Diselesaikan
Jika perbedaan ini tidak menemukan titik temu, maka sejumlah risiko serius dapat timbul:
A. OBSTRUCTION OF JUSTICE (Menghalangi Keadilan)
Ketidakharmonisan antara penyidik dan penuntut umum dapat menyebabkan penyelidikan tidak berkembang ke akar masalah, dan hanya berhenti pada pelaku teknis lapangan. Ini berpotensi melanggar prinsip due process of law dan dapat dianggap sebagai obstruction of justice secara implisit.
“Perkara yang hanya diproses setengah hati akan menghasilkan keadilan semu.”
B. GAGALNYA PENEGAKAN HUKUM SISTEMIK
Perkara ini menyangkut aspek tata ruang, pengelolaan aset negara, hingga kerugian perekonomian masyarakat pesisir. Bila hanya ditangani sebagai pemalsuan dokumen, maka akan menjadi preseden buruk bahwa kejahatan pertanahan dan kelautan bisa dibungkam dengan pasal ringan.
C. KONFLIK KELEMBAGAAN DAN KEHILANGAN LEGITIMASI PUBLIK
Masyarakat akan melihat adanya tarik-menarik kepentingan antara institusi penegak hukum, bukan kerja sama untuk menegakkan keadilan. Ini akan merusak trust public terhadap aparat penegak hukum.
D. MUNCULNYA GUGATAN PRA-PERADILAN ATAU KEBERATAN FORMAL
Pihak terdakwa maupun kuasa hukum dapat memanfaatkan ketidaksinkronan ini untuk mengajukan pra-peradilan atas keabsahan penanganan perkara, atau menilai bahwa terjadi dualisme legal construction yang membingungkan.
4. Apa Solusi Hukum yang Dapat Ditempuh?
A. Gelar Perkara Bersama
Gelar perkara gabungan antara Kejagung dan Polri bersama KPK, BPK, BPN, dan instansi terkait (ATR/Kemenko Marves) dapat dilaksanakan untuk menyamakan persepsi dan bukti.
B. Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum (APIP dan APH)
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satgas Saber Pungli dan Peraturan Jaksa Agung dan Kapolri soal koordinasi penyidikan bersama.
C. Pelibatan KPK atau Supervisi oleh KPK
Mengingat skala dan kerumitan perkara, serta adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan suap, KPK dapat mengambil alih atau melakukan supervisi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU KPK.
BUKAN SEKEDAR KASUS, TAPI TES INTEGRITAS HUKUM
Kasus pagar laut ini adalah refleksi nyata bagaimana konflik agraria, tata ruang, dan kekuasaan bersatu dalam wajah hukum Indonesia hari ini. Ketika institusi hukum tidak bersinergi dan malah berbeda arah, yang menjadi korban adalah:
– Nelayan dan warga pesisir yang kehilangan akses atas laut
– Negara yang kehilangan kendali atas aset publik
– Kepercayaan rakyat terhadap hukum yang mulai terkikis
Catatan: Oleh karena itu, penyelesaian hukum dalam kasus ini tidak bisa hanya berhenti pada pemalsuan surat. Keadilan sejati menuntut agar semua aktor baik teknis maupun pengambil kebijakan dimintai pertanggungjawaban.
Penulis: Akhwil, S.H.
Praktisi Hukum dan Aktivis LSM Tangerang Raya. membuat tulisan ini untuk keperluan edukasi publik, sesuai dengan koridor hukum dan tidak bertentangan dengan UU ITE dan UU Pers)
Wartawan ; CHY