Watchnews.co.id | Tangerang – “Perintah Tegas Presiden untuk Penertiban
1. Status Kepemilikan Laut Berdasarkan Hukum Indonesia
Laut di Indonesia merupakan bagian dari wilayah negara yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini diperkuat oleh UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam konteks ini:
Laut adalah kawasan milik negara yang tidak dapat dimiliki secara perorangan atau badan hukum.
Pemanfaatan ruang laut hanya dapat dilakukan dengan izin berupa KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut).
Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 menegaskan bahwa wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil harus dilindungi dari privatisasi yang melanggar hak-hak rakyat. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak setiap upaya yang memungkinkan wilayah pesisir dan laut dikelola dengan cara yang mengurangi kontrol negara untuk kepentingan umum.
Jika muncul HGB (Hak Guna Bangunan) di atas laut, hal tersebut melanggar prinsip dasar hukum agraria dan kelautan. Hal ini tidak sah karena:
Laut tidak dapat dikategorikan sebagai tanah sesuai Pasal 4 UUPA.
HGB hanya dapat diberikan di atas tanah negara, tanah hak milik, atau tanah HPL (Hak Pengelolaan), yang tidak berlaku untuk perairan laut.
2. Pemagaran Laut: Pelanggaran Administrasi dan Lingkungan
Pemagaran laut sepanjang 30,16 km di pesisir Kabupaten Tangerang melanggar hukum karena:
Tidak memiliki izin KKPRL sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU No. 27 Tahun 2007.
Berpotensi merusak ekosistem laut, yang melanggar Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Arahan Presiden Prabowo Subianto
Pada Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto secara tegas menginstruksikan pembongkaran pagar laut tersebut. Presiden juga memerintahkan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan yang telah dikeluarkan, termasuk proyek reklamasi besar seperti PIK 2, yang dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Presiden menekankan bahwa pembangunan harus memprioritaskan kepentingan lingkungan, kesejahteraan masyarakat pesisir, dan tidak bertentangan dengan hukum.
3. Evaluasi Proyek PIK 2 sebagai PSN
Proyek PIK 2 yang melibatkan reklamasi besar di kawasan pesisir dinilai bermasalah terkait:
Dampak lingkungan yang signifikan tanpa analisis yang memadai.
Penggunaan wilayah pesisir dan laut yang melanggar prinsip keberlanjutan.
Potensi penyalahgunaan izin terkait perubahan fungsi kawasan pesisir.
Presiden Prabowo memerintahkan KLH, KKP, dan BPN untuk melakukan audit terhadap izin yang telah dikeluarkan. Evaluasi ini mencakup validasi analisis dampak lingkungan (AMDAL), penerapan izin pemanfaatan ruang laut, serta kepatuhan terhadap putusan MK.
4. Implikasi Hukum: Pembatalan HGB dan Sanksi bagi Pelanggar
Keabsahan HGB di Atas Laut:
Sertifikat HGB di atas laut dapat dibatalkan melalui mekanisme PTUN atau pencabutan administratif oleh BPN berdasarkan Pasal 106-107 Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2021.
Sanksi Pidana dan Administrasi:
*Pihak yang memalsukan dokumen atau melakukan pemagaran tanpa izin dapat dijerat:
Pasal 263 – 264- 266 jo pasal 55 – 56 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan penjara minimal 3 tahun maksimal 8 tahun. Jika pemalsuan dokumen tersebut melibatkan pegawai atau pejabat BPN maka mereka dapat juga dijerat dengan UU No.31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2021 tentang TIPIKOR apabila terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang dan suap.
Pasal 36 dan Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009, dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda Rp3 miliar. Pasal 23 UUPA ” Jika pemalsuan dokumen menyebabkan penerbitan sertifikat yang tidak sah, makan sertifikat tersebut dapat dibatalkan dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan dan melaporkan secara pidana.
*Penegakan Putusan MK:
Pemerintah wajib membatalkan setiap izin atau kepemilikan yang bertentangan dengan putusan MK terkait perlindungan ruang pesisir dan laut.
5. Pihak yang Bertanggung Jawab
*BPN: Bertanggung jawab mencabut HGB yang terbit tanpa dasar hukum.
*KKP dan KLH: Bertanggung jawab menindak pemanfaatan ruang laut yang melanggar izin dan berdampak negatif terhadap lingkungan.
*Pemerintah Daerah: Bertugas memonitor dan menegakkan tata ruang wilayah pesisir sesuai Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2016 tentang Reklamasi.
KESIMPULAN:
Kasus HGB di atas laut dan pemagaran pesisir adalah pelanggaran hukum serius yang mengancam kedaulatan ruang laut Indonesia. Putusan MK dan perintah Presiden Prabowo Subianto memperkuat bahwa kawasan pesisir harus dikelola secara berkelanjutan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Penegakan hukum yang tegas serta evaluasi menyeluruh terhadap izin yang telah diterbitkan menjadi langkah mendesak untuk menyelesaikan persoalan ini.
Penulis: Akhwil.SH ( Praktisi Hukum dan Aktivis ).