KASUS KORUPSI DLH TANGSEL Rp25 MILIAR, KEJATI BANTEN DIAM, SIAPA YANG LINDUNGI?

Bagikan

Tangerang Raya, 17 Maret 2025, Watchnews.co.id “Lambannya penanganan kasus dugaan korupsi pengangkutan sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tangerang Selatan menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Pasalnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten telah menemukan indikasi persekongkolan tender dan merilis kerugian negara sebesar Rp25 miliar, tetapi hingga kini belum ada penetapan tersangka.

Masyarakat dan aktivis anti-korupsi pun mulai bersuara lantang, mendesak Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk turun tangan. Mereka khawatir, jika kasus ini dibiarkan berlarut-larut, akan ada upaya “mengaburkan” fakta demi melindungi pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.

MANDEKNYA KASUS, ADA APA DENGAN KEJATI BANTEN ?

Hingga saat ini, Kejati Banten telah memeriksa 37 orang, termasuk 21 ASN, dan melakukan penggeledahan pada 10 Februari 2025 lalu. Dari penggeledahan itu, penyidik menyita lima boks kontainer berisi dokumen yang diduga berkaitan dengan dugaan penyimpangan dalam proyek pengangkutan sampah.

Salah satu kejanggalan yang menjadi sorotan adalah keberadaan PT EPP, selaku penyedia jasa, yang ternyata tidak memiliki fasilitas dan kapasitas untuk mengelola sampah. Namun, tetap memenangkan tender dengan nilai proyek yang fantastis.

“Dalam pelaksanaan pekerjaan, terdapat potensi kerugian keuangan negara daerah sekitar Rp25 miliar,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Banten Rangga Adeksena dalam siaran pers sebelumnya.

Namun, pernyataan itu justru menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Jika indikasi kerugian negara sudah jelas dan bukti-bukti sudah dikantongi, mengapa belum ada tersangka?

ANALISIS HUKUM:

Seharusnya Sudah Ada Tersangka
Akhwil, S.H., seorang praktisi hukum dan aktivis LSM Tangerang Raya, menilai bahwa penanganan kasus ini telah memasuki tahap kritis dan seharusnya sudah ada penetapan tersangka.

“Jika dalam proses penyidikan ditemukan adanya kontrak kerja yang cacat hukum, indikasi persekongkolan dalam tender, dan bukti bahwa PT EPP tidak memenuhi kewajibannya dalam kontrak, maka unsur-unsur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sudah terpenuhi. Penyidik sebenarnya sudah cukup alat bukti untuk menetapkan tersangka,” tegasnya.

Dalam hukum pidana, jika terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara, maka penegak hukum tidak perlu menunggu audit dari BPK untuk menetapkan tersangka. Bukti surat, saksi, dan keterangan ahli sudah cukup untuk melanjutkan kasus ke tahap selanjutnya.

Lebih lanjut, Akhwil juga mengingatkan soal Pasal 421 KUHP, yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara yang sengaja menunda atau menghalangi proses hukum.

“Jika Kejati Banten tidak segera menetapkan tersangka, maka ini bisa menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di Banten. Masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum,” imbuhnya.

Dugaan Intervensi dan Kepentingan Politik?
Selain aspek hukum, lambannya proses ini juga memunculkan dugaan adanya intervensi politik atau tekanan dari pihak berkepentingan. Sejumlah aktivis menduga ada upaya perlindungan terhadap oknum pejabat yang terlibat dalam proyek ini.

“Ada indikasi kuat bahwa kasus ini tidak hanya melibatkan pejabat teknis di DLH Tangsel, tetapi juga ada figur kuat di baliknya. Ini yang harus diungkap. Kejati Banten jangan sampai tunduk pada tekanan politik,” ujar Akhwil.

Selain itu, ia juga menyoroti potensi adanya obstruction of justice, yaitu upaya menghalangi proses hukum, yang jika terbukti dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 21 UU Tipikor.

“Kita harus jeli melihat apakah ada upaya untuk memperlambat atau bahkan menggagalkan penyidikan. Jika ada, maka ini sudah masuk dalam ranah tindak pidana lain yang juga harus diproses,” tambahnya.

Desakan untuk Jaksa Agung ST Burhanuddin
Karena mandeknya kasus ini, Akhwil bersama sejumlah aktivis akan mengajukan laporan resmi ke Kejaksaan Agung agar kasus ini mendapatkan atensi langsung dari ST Burhanuddin.

“Sesuai dengan komitmen Jaksa Agung, bahwa beliau tidak akan mentoleransi jaksa yang bermain-main dengan kasus korupsi. Jika ada indikasi pelanggaran etik atau permainan di internal Kejati Banten, maka harus ada tindakan tegas,” katanya.

Selain itu, mereka juga mempertimbangkan untuk melibatkan KPK jika dalam waktu dekat Kejati Banten tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam kasus ini.

“Kami ingin kasus ini segera dibuka secara transparan ke publik. Jika Kejati Banten lambat, maka KPK bisa mengambil alih kasus ini,” tegasnya.

Publik Harus Terus Mengawal Kasus dugaan korupsi di DLH Tangerang Selatan ini adalah ujian bagi Kejati Banten dalam menegakkan hukum. Jika dalam waktu dekat tidak ada kemajuan dalam penyidikan, maka wajar jika publik mempertanyakan integritas dan independensi Kejati Banten dalam menangani kasus ini.

Akhwil, S.H. menutup pernyataannya dengan mengajak masyarakat untuk terus mengawal kasus ini.

“Jangan biarkan kasus ini hilang begitu saja. Masyarakat harus terus mengawasi, agar keadilan benar-benar ditegakkan. Kita tidak ingin ada kasus yang dipetieskan hanya karena ada kepentingan segelintir orang,” pungkasnya.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak Kejati Banten belum memberikan tanggapan terkait perkembangan terbaru dalam kasus ini.

Pewarta: H.C.M

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *