Penulis:
Akhwil, S.H.
Praktisi Hukum & Aktivis Tangerang Raya serta
Pimpinan Umum media online WATCHNEWS.CO.ID
Tangerang, 7 Februari 2025-Watchnews.co.id
I. KEKHAWATIRAN PEMILIK TANAH
Tahun 2026 semakin dekat, dan bagi banyak pemilik tanah yang masih menggunakan girik atau dokumen lama lainnya, ketidakpastian hukum semakin terasa. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa girik dan dokumen lama tidak lagi berlaku sebagai alat bukti kepemilikan tanah setelah seluruh wilayah terpetakan dan disertifikasi, pemilik tanah dihadapkan pada risiko kehilangan hak atas tanah yang telah mereka kuasai secara turun-temurun.
Ketakutan ini semakin besar bagi mereka yang tanahnya masih dalam sengketa atau menghadapi mafia tanah yang sering memanfaatkan celah hukum untuk mengklaim kepemilikan dengan cara yang tidak sah. Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa sertifikat tanah yang telah diterbitkan lebih dari lima tahun tidak dapat digugat lagi jika pemiliknya memperoleh dengan iktikad baik dan menguasai secara fisik. Hal ini berpotensi melemahkan posisi pemilik girik yang belum mengurus sertifikasi tanah mereka.
Pertanyaannya, bagaimana langkah yang harus diambil pemilik tanah agar hak mereka tetap terlindungi?
II. MENGENAL SURAT-SURAT KEPEMILIKAN TANAH SEBELUM SERTIFIKAT
Sebelum sistem sertifikasi tanah berlaku secara luas, masyarakat menggunakan berbagai dokumen sebagai bukti kepemilikan tanah. Berikut beberapa dokumen yang umum digunakan dan implikasi hukumnya:
1. Girik
Bukti pembayaran pajak tanah yang dikeluarkan oleh desa/kecamatan.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, girik bukan alat bukti kepemilikan, tetapi dapat digunakan sebagai bukti penguasaan tanah dalam proses sertifikasi.
2. Verponding Indonesia
Bukti pembayaran pajak tanah dari era kolonial Belanda.
Wajib dikonversi menjadi sertifikat hak milik sesuai dengan Pasal 19 UUPA Tahun 1960.
3. Ketitir
Dokumen administrasi desa yang menunjukkan penguasaan tanah.
Tidak memiliki kekuatan hukum sebagai hak milik berdasarkan Pasal 16 UUPA Tahun 1960.
4. Eigendom Verponding
Bukti kepemilikan tanah era kolonial yang harus dikonversi menjadi sertifikat hak milik.
Jika tidak dikonversi, bisa menjadi objek sengketa karena tidak diakui dalam sistem pertanahan modern.
5. Surat Ijo
Hak pemanfaatan tanah milik pemerintah daerah yang sewaktu-waktu bisa ditarik kembali.
III. IMPLIKASI HUKUM JIKA GIRIK TIDAK DIKONVERSI SEBELUM 2026
Jika pemilik tanah tidak segera mengurus sertifikat sebelum Tahun 2026, beberapa risiko hukum yang akan dihadapi antara lain:
1. Girik Tidak Diakui Lagi sebagai Bukti Hak Milik
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA Tahun 1960, hanya tanah dengan sertifikat yang memiliki kepastian hukum.
Girik dan dokumen lama tidak lagi diakui setelah semua tanah terpetakan oleh BPN.
2. Tanah Bisa Dikuasai Pihak Lain
Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa sertifikat yang telah terbit lebih dari lima tahun tidak dapat digugat, kecuali ada unsur cacat hukum.
Pemilik girik yang tidak segera mengurus sertifikat bisa kehilangan hak atas tanahnya jika ada pihak lain yang lebih dahulu mendapatkan sertifikat.
3. Sengketa Tanah Menjadi Lebih Sulit Diselesaikan
Pasal 19 UUPA Tahun 1960 mengatur kewajiban pendaftaran tanah untuk kepastian hukum.
Tanah yang belum bersertifikat akan lebih rentan terhadap gugatan hukum dan klaim pihak lain.
4. Ancaman Mafia Tanah
Pasal 55 KUHP bisa menjerat mafia tanah yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen kepemilikan.
Mafia tanah sering memanfaatkan lemahnya administrasi tanah untuk mengklaim kepemilikan secara ilegal.
IV. LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN UNTUK MELINDUNGI HAK ATAS TANAH
Untuk menghindari permasalahan hukum di atas, pemilik tanah harus segera mengambil langkah berikut:
1. Mengajukan Peningkatan Status Tanah ke Sertifikat di BPN
Sesuai Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah harus dilakukan dengan dokumen pendukung yang sah.
Dokumen yang harus disiapkan:
Girik/verponding asli.
Surat keterangan tidak sengketa dari desa/kelurahan.
Bukti pembayaran PBB terakhir.
Fotokopi KTP dan KK pemilik tanah.
2. Memanfaatkan Program PTSL
Pasal 6 Peraturan Menteri ATR/BPN No. 6 Tahun 2018 tentang PTSL memberikan kemudahan pendaftaran tanah bagi masyarakat.
Pemilik tanah bisa mengurus sertifikat dengan biaya lebih murah melalui program ini.
3. Bagi yang Tanahnya Masih Sengketa: Segera Percepat Proses Hukum
Menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata sebagai dasar gugatan jika ada pihak yang merugikan hak kepemilikan tanah.
Memanfaatkan Pasal 1858 KUHPerdata tentang pembuktian hak melalui dokumen dan saksi.
4. Mengajukan Gugatan Pembatalan Sertifikat jika Tanah Diklaim Pihak Lain
Pasal 26 UUPA Tahun 1960 menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah harus sah secara hukum.
Gugatan pembatalan sertifikat dapat diajukan berdasarkan Pasal 78 PP No. 18 Tahun 2021 jika terbukti ada cacat administrasi atau pemalsuan dokumen.
Penghapusan girik pada 2026 merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam pertanahan. Namun, aturan ini juga berisiko bagi pemilik tanah yang belum mengurus sertifikat mereka.
Oleh karena itu, langkah yang harus segera dilakukan adalah:
Mengurus sertifikasi tanah ke BPN sebelum 2026.
Memanfaatkan program PTSL untuk meringankan biaya pendaftaran.
Bagi yang menghadapi sengketa, segera percepat penyelesaian hukum sebelum aturan baru berlaku.
Mewaspadai mafia tanah dan melaporkan indikasi pelanggaran ke aparat berwenang.
Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat dan memastikan bahwa proses pendaftaran tanah berjalan transparan dan efisien. Jika tidak, aturan ini justru bisa dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk menguasai tanah rakyat secara ilegal.
Jangan menunggu hingga terlambat! Segera urus sertifikat tanah Anda sebelum girik benar-benar tidak lagi diakui. (Red)