MISTERI BLACK HORSE DI KORUPSI SAMPAH TANGSEL: “Persekongkolan Tender, Jejak Digital, dan Dugaan Intervensi Politik”

ilustrasi atau gambaran dari kasus dugaan korupsi pengelolaan sampah di tangsel
Bagikan

Tangerang, 10-03-2025 Watchnews.co.id “Dugaan korupsi proyek pengangkutan sampah di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) kian menjadi sorotan publik. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten telah meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan dengan kerugian negara mencapai Rp25 miliar, namun hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan.

Di tengah lambannya proses hukum, mencuat nama “Black Horse”, sosok misterius yang diduga sebagai otak intelektual di balik persekongkolan proyek pengangkutan sampah senilai Rp75,94 miliar. Figur ini disebut-sebut memiliki pengaruh besar dalam mengatur proyek, mengendalikan pemenang tender, dan bahkan berpotensi mengintervensi jalannya penyelidikan.

Akhwil, S.H., seorang praktisi hukum dan aktivis di Tangerang Raya, menyoroti indikasi kuat adanya kejahatan terorganisir dalam proyek ini, yang jika tidak segera ditindak akan semakin merusak kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Banten.

Persekongkolan Tender: PT EPP dan Oknum Pejabat Tangsel Berdasarkan hasil penyelidikan Kejati Banten, ditemukan indikasi bahwa proses tender proyek ini telah diatur sejak awal untuk memenangkan PT Ella Pratama Perkasa (PT EPP). Perusahaan ini diketahui selalu memenangkan tender sejak 2022 hingga 2024, meskipun tidak memiliki fasilitas dan kapasitas untuk melakukan pengelolaan sampah, yang seharusnya menjadi salah satu syarat utama dalam kontrak.

Menurut Akhwil, S.H., modus operandi dalam proyek ini jelas menunjukkan adanya pelanggaran hukum, terutama dalam hal persekongkolan tender dan penyalahgunaan kewenangan.

“Jika sebuah perusahaan terus memenangkan tender dengan nilai tinggi, padahal tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak, maka ini bukan sekadar kelalaian administrasi, melainkan dugaan korupsi terstruktur yang melibatkan banyak pihak,” tegas Akhwil.

Modus lainnya adalah dugaan keterlibatan oknum di Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang diduga telah mengawal dan menggiring proses tender agar PT EPP tetap menjadi pemenang.

Pertanyaannya, siapa pejabat yang melindungi PT EPP dan mengatur proses ini sejak awal?

LAMBANNYA KEJATI BANTEN :

Faktor Teknis atau Intervensi Politik?
Sejauh ini, Kejati Banten telah memeriksa 37 orang, termasuk 21 ASN, namun masih belum ada tersangka yang ditetapkan. Padahal, dalam hukum tindak pidana korupsi, penetapan tersangka bisa dilakukan jika telah ditemukan dua alat bukti yang cukup, termasuk hasil audit BPK yang membuktikan kerugian negara.

Menurut Akhwil, S.H., Kejati Banten seharusnya sudah dapat menetapkan tersangka berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Ketika ada audit BPK yang menyatakan kerugian negara, itu sudah cukup sebagai dasar untuk menetapkan tersangka. Jika ini tidak segera dilakukan, ada kemungkinan bahwa penyidik sedang menghadapi tekanan dari pihak tertentu,” ungkap Akhwil.

Ia juga menyoroti bahwa dalam banyak kasus korupsi besar, jejak digital bisa menjadi bukti kuat untuk mengungkap siapa yang mengendalikan proyek ini di balik layar. Jika Kejati Banten serius, maka mereka bisa segera menelusuri komunikasi digital antara pejabat Pemkot Tangsel, PT EPP, dan pihak terkait lainnya.

DUGAAN KETERLIBATAN PEJABAT TINGGI :

Siapa yang Dilindungi? Dalam penyelidikan awal, muncul dugaan bahwa proyek ini melibatkan oknum pejabat di Sekretariat Daerah (Sekda) dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tangsel, yang disebut-sebut telah mengawal proyek ini sejak tahap perencanaan hingga eksekusi.

Fakta bahwa Benjamin Davnie, Wali Kota Tangsel saat ini, adalah petahana dari periode sebelumnya membuat publik bertanya:

1. Apakah proyek ini sudah dikondisikan sejak periode pertamanya?
2.  Apakah ada kepentingan politik yang membuat kasus ini berjalan lambat?
3. Apakah Kejati Banten mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk tidak segera menetapkan tersangka?

Munculnya sosok “Black Horse”, yang dikabarkan memiliki hubungan erat dengan elite lokal dan nasional, semakin memperkuat dugaan adanya upaya melindungi pihak-pihak tertentu. Bahkan, beredar isu bahwa sosok ini dikenal dengan panggilan “Babeh”, seseorang yang disebut-sebut memiliki jaringan luas dalam berbagai proyek besar di Tangsel.

Menurut Akhwil, S.H., jika Kejati Banten tidak segera bertindak, kasus ini bisa berujung pada pemutihan atau hanya mengorbankan aktor kecil, sementara pelaku utama tetap bebas.

“Kami mendesak Kejaksaan Agung atau KPK untuk mengambil alih kasus ini jika Kejati Banten terbukti tidak serius. Jangan sampai masyarakat melihat hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” tegas Akhwil.

LANGKAH HUKUM YANG HARUS SEGERA DITEMPUH :

Melihat perkembangan kasus ini, langkah hukum yang perlu segera dilakukan adalah:

1. Menelusuri jejak digital dari komunikasi pejabat terkait untuk membuktikan adanya persekongkolan dalam tender.
2. Menggunakan hasil audit BPK sebagai dasar hukum untuk segera menetapkan tersangka.
3. Mendesak Kejati Banten untuk bersikap transparan dalam penyelidikan dan membuka informasi kepada publik.

Jika Kejati Banten tidak segera bertindak, maka Kejaksaan Agung atau KPK harus turun tangan.
Menurut Akhwil, S.H., jika kasus ini terus berlarut-larut, maka dampaknya bukan hanya pada hilangnya uang negara, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.

Kasus korupsi pengangkutan sampah di Tangsel diduga bukan sekadar penyalahgunaan anggaran, tetapi kejahatan yang terstruktur dengan melibatkan oknum pejabat dan pengusaha yang memiliki jaringan luas.

Sosok “Black Horse” yang diduga sebagai otak utama di balik kasus ini masih bebas, sementara Kejati Banten tampaknya belum berani menetapkan tersangka.

Menurut Akhwil, S.H., jika Kejati Banten benar-benar berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, maka mereka harus segera mengambil langkah hukum tegas.

“Jangan sampai publik berpikir bahwa hukum bisa diatur sesuai kepentingan politik. Kasus ini adalah ujian bagi integritas Kejati Banten dan pemerintah daerah Tangsel,” pungkas Akhwil.

Kini, pertanyaan yang tersisa: Apakah Kejati Banten akan menuntaskan kasus ini, ataukah “Black Horse” akan terus menjadi bayang-bayang yang tak tersentuh?

Pewarta: AR
Nara sumber: Penggunaan kata “Black Horse” dikutip dari beberapa media online di Tangerang Raya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *