Watchnews.co.id,Tangerang-
LATAR BELAKANG :
Kasus pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Tangerang yang dimulai pada 2023 telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, khususnya para nelayan. Dengan dalih melindungi kawasan pesisir dari abrasi, proyek ini justru menjadi pelanggaran nyata atas hak masyarakat adat dan nelayan tradisional untuk mengakses laut sebagai sumber penghidupan.
Lebih lanjut, Kementerian ATR/BPR melalui Menteri Nusron Wahid mengungkapkan bahwa pagar tersebut berdiri di atas wilayah laut yang secara hukum tidak dapat dijadikan objek hak atas tanah.
Terbitnya 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh 2 ( dua) perusahaan yang berafiliasi dengan PIK 2 milik Aguan dan 17 SHM milik perorangan di wilayah tersebut adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum agraria, hukum tata ruang, dan prinsip perlindungan ekosistem laut.
Pernyataan tegas dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyebutkan bahwa penerbitan 263 HGB dan 17 SHM tersebut ilegal. Ini menandakan adanya dugaan kolusi antara oknum pemerintah dan pihak swasta dalam memanipulasi administrasi hukum demi keuntungan pribadi.
Pembongkaran dan Penegakan Hukum oleh Pemerintah Pada 22 Januari 2025, atas perintah langsung Presiden Prabowo Subianto, dilakukan pembongkaran pagar laut tersebut.
Operasi ini melibatkan berbagai instansi, antara lain:
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
TNI Angkatan Laut,
Polri,
Kementerian ATR/BPN, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang.
Selain itu, elemen masyarakat, terutama para nelayan yang terdampak langsung, turut membantu proses pembongkaran. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum, mengembalikan hak-hak masyarakat pesisir, dan melindungi ekosistem laut dari eksploitasi yang melanggar hukum.
ARGUMENTASI DAN DALIL HUKUM
1. Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Agraria dan Tata Ruang
Penerbitan HGB di atas laut melanggar Pasal 4 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal tersebut menyebutkan bahwa hak atas tanah hanya dapat diberikan atas tanah yang berada di wilayah daratan, bukan perairan laut.
Selain itu, tindakan ini juga melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 35, yang mengatur pemanfaatan ruang wilayah pesisir harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
2. Pelanggaran Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut
Berdasarkan Pasal 32 dan 33 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap kegiatan di wilayah pesisir dan laut harus memiliki izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Penerbitan HGB di atas laut tanpa PKKPRL jelas melanggar ketentuan ini.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 juga menegaskan bahwa laut bukan objek yang dapat dimiliki secara privat. Dengan demikian, penerbitan HGB di atas laut adalah tindakan ilegal.
POTENSI TINDAK PIDANA
Pejabat yang terlibat dalam penerbitan HGB ilegal dapat dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Tindakan pemalsuan data administrasi, seperti pencatutan nama masyarakat, dapat dikenakan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.
Kerusakan Lingkungan dan Pemulihan Ekosistem
Kerusakan ekosistem laut akibat pemasangan pagar bertentangan dengan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan pelaku kerusakan lingkungan untuk memulihkan lingkungan yang telah dirusak.
Tindak Lanjut dan Pertanggungjawaban Hukum :
Pemerintah telah mengambil langkah tegas untuk menindaklanjuti kasus ini, di antaranya:
1.Pembatalan Sertifikat HGB Ilegal
Kementerian ATR/BPN akan membatalkan seluruh 263 sertifikat HGB dan 17 SHM yang telah diterbitkan secara ilegal di wilayah laut. Proses pembatalan akan disertai dengan audit menyeluruh untuk mengidentifikasi pelanggaran prosedural dalam penerbitannya.
PENYIDIKAN KOLABORATIF
Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Polri telah diminta untuk melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta. Penelusuran aliran dana dalam penerbitan sertifikat akan menjadi fokus utama penyelidikan ini.
RESTORASI EKOSISTEM LAUT
Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), akan mengawasi upaya pemulihan ekosistem laut yang rusak akibat proyek pagar laut. Selain itu, sanksi administratif dan pidana akan diberikan kepada pihak yang terbukti melanggar hukum lingkungan.
PERLINDUNGAN HAK NELAYAN:
Pemerintah berkomitmen untuk melindungi akses nelayan terhadap sumber daya laut dengan memastikan kawasan perairan bebas dari penghalang ilegal. Langkah ini mencakup revisi tata ruang dan pemberian izin yang berbasis keberlanjutan dan keadilan sosial.
KESIMPULAN :
Kasus ini adalah contoh nyata bagaimana praktik penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum dapat merugikan masyarakat luas dan lingkungan.
Pemerintah telah menunjukkan komitmen kuat untuk mengembalikan supremasi hukum dan hak-hak masyarakat melalui pembongkaran pagar laut serta langkah investigasi mendalam terhadap penerbitan sertifikat HGB ilegal.
Momentum ini harus menjadi pelajaran penting untuk memastikan bahwa pengelolaan ruang wilayah, khususnya laut, dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, lingkungan, dan hukum yang berlaku.
NB : Artikel ini ditulis oleh Akhwil.SH yang berprofesi sebagai Praktisi hukum dan Aktivis dari berbagai sumber berita, pengetahuan dan pengalaman dan dari hasil penelusuran dan investigasi dilapangan.
Penulis Artikel : Akhwil S.H Praktisi Hukum & Aktivis