PENDAMPINGAN APH DALAM PROYEK PAGU BESAR : MEKANISME ATAU MODUS?

Bagikan

Di Tulis Oleh: Akhwil, S.H. (Praktisi Hukum dan Aktivis LSM Tangerang Raya)

Tangerang, 25 Maret 2025, Watchnews.co.id Dalam proses pengadaan barang dan jasa (BarJas) oleh pemerintah daerah, terutama proyek dengan nilai pagu besar di atas Rp10 miliar, sering muncul alasan bahwa proyek tersebut membutuhkan pendampingan dari Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya Kejaksaan. Dalih ini dikaitkan dengan status proyek sebagai Proyek Strategis Daerah (PSD), sebagaimana Proyek Strategis Nasional (PSN) di tingkat pusat. Namun, benarkah pendampingan ini memiliki dasar hukum yang kuat, atau justru menjadi celah bagi praktik koruptif yang merugikan keuangan negara?

Artikel ini akan mengelaborasi tiga aspek utama yang sering dikemukakan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait proyek dengan pagu besar, serta menganalisisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. PROYEK STRATEGIS DAERAH (PSD): FAKTA ATAU ALIBI?

Sejumlah OPD mengklaim bahwa proyek dengan pagu besar secara otomatis masuk dalam kategori Proyek Strategis Daerah (PSD). Pertanyaan hukumnya:

a. Apakah sudah ada Surat Keputusan (SK) Wali Kota yang menetapkan proyek tertentu sebagai PSD?

Jika proyek dikategorikan sebagai PSD, maka seharusnya ada SK resmi dari Wali Kota yang menetapkan proyek-proyek apa saja yang masuk dalam kategori ini. Dasar hukum penetapan proyek strategis daerah dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk menetapkan program prioritas.

Jika tidak ada SK, maka pengklaiman status PSD bisa dianggap hanya dalih OPD untuk menghindari kontrol yang lebih ketat.

b. Jika ada, proyek apa saja yang masuk dalam PSD?

Apakah proyek yang diklaim sebagai PSD masuk dalam kategori pembangunan infrastruktur penting bagi kepentingan publik?

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa proyek strategis harus melalui proses penetapan yang jelas dan transparan.

c. Bagaimana mekanisme pengadaan barang/jasa proyek PSD?

Proyek yang berstatus PSD tetap harus mengikuti prosedur pengadaan yang berlaku, yaitu melalui e-katalog atau tender terbuka di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Jika mekanisme pengadaan tidak sesuai dengan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), maka ada indikasi pelanggaran hukum yang dapat merugikan keuangan negara.

ANALISIS HUKUM :

Jika proyek PSD tidak memiliki dasar hukum yang sah, maka klaim tersebut berpotensi melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) tentang penyalahgunaan wewenang yang dapat menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta merugikan keuangan negara.

2. APAKAH PAGU BESAR OTOMATIS MASUK PSD?

a. Apakah nilai pagu besar otomatis menjadikan proyek sebagai PSD?

Tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa proyek dengan nilai pagu tertentu otomatis masuk sebagai PSD.

PSD seharusnya ditetapkan berdasarkan urgensi dan dampaknya terhadap kepentingan publik, bukan sekadar besarnya anggaran.

b. Berapa batasan nominal pagu indikatif yang masuk PSD?

Regulasi terkait batasan nilai pagu untuk proyek strategis daerah seharusnya diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Kepala Daerah.

Jika tidak ada batasan yang jelas, maka klaim OPD bahwa proyek dengan pagu besar harus masuk PSD patut dipertanyakan.

ANALISIS HUKUM :

Jika proyek dengan pagu besar diklaim sebagai PSD tanpa dasar hukum yang jelas, maka bisa terjadi pelanggaran terhadap Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pasal 6 Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

3. PENDAMPINGAN APH: BENTUK PERLINDUNGAN ATAU MODUS OPERANDI?

a. Apa dasar hukum pendampingan oleh APH?

Pendampingan hukum dalam proyek pemerintah umumnya dilakukan dalam bentuk Pengamanan Proyek Strategis (PPS) oleh Kejaksaan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung No. 7 Tahun 2020 tentang Pedoman Pendampingan Hukum oleh Kejaksaan.

Namun, pendampingan ini tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu.

b. Apakah APH melaksanakan pendampingan sesuai aturan?

Pendampingan seharusnya bersifat independen dan objektif, bukan sebagai sarana intervensi dalam proses pengadaan.

Jika APH justru menjadi bagian dari proses pengadaan dengan keberpihakan terhadap pihak tertentu, maka ada potensi abuse of power yang melanggar Pasal 12 UU Tipikor tentang gratifikasi dan konflik kepentingan.

c. Jangan-jangan pendampingan ini menggantikan P4D dan menguntungkan kelompok tertentu?

Sebelumnya, Kejaksaan memiliki program Pengawalan dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (P4D) yang bertujuan untuk mencegah korupsi dalam proyek pemerintah.

Jika pendampingan yang sekarang dilakukan justru mengarah pada keberpihakan terhadap vendor atau kontraktor tertentu, maka ada indikasi mafia proyek yang memanfaatkan APH sebagai tameng legalitas.

ANALISIS HUKUM:

Jika APH digunakan untuk memenangkan kelompok tertentu dalam tender proyek, maka hal ini melanggar Pasal 11 UU Tipikor, yang melarang pegawai negeri menerima gratifikasi terkait jabatan.

4. RESIKO DAN KONSEKUENSI HUKUM

Jika mekanisme pengadaan proyek dengan pagu besar dilakukan tanpa transparansi dan diklaim sebagai PSD tanpa dasar hukum yang jelas, maka konsekuensi hukumnya adalah:

  1. Pelanggaran terhadap UU Tipikor, yang dapat mengarah pada penyelidikan dugaan korupsi.
  2. Maladministrasi dan Penyalahgunaan Wewenang, yang dapat diproses melalui Ombudsman RI.
  3. Potensi Gugatan Masyarakat atau LSM, yang dapat mengajukan keberatan terhadap proyek yang tidak transparan.

Pendampingan oleh APH dalam proyek dengan pagu besar harus dilakukan berdasarkan aturan yang jelas, bukan sebagai alat untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Jika proyek diklaim sebagai Proyek Strategis Daerah (PSD), maka harus ada dasar hukum yang sah dalam bentuk SK Wali Kota dan mekanisme pengadaan yang transparan.

Sebaliknya, jika pendampingan APH justru menjadi celah untuk memenangkan pihak tertentu dalam tender proyek, maka ini dapat menjadi modus baru dalam praktek korupsi terselubung. Masyarakat dan aparat pengawas harus lebih jeli dalam mengawasi pola-pola seperti ini agar tidak menjadi ladang penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

“Pemerintah harus transparan, APH harus independen, dan publik harus kritis!”

CATATAN:
Tulisan ini dibuat oleh penulis berdasarkan hasil diskusi dan masukan dari rekan-rekan senior sesama aktivis LSM Tangerang Raya yang peduli dan kritis terhadap tindakan praktek korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang merugikan keuangan negara dan daerah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *